Lahan gambut, sebuah ekosistem unik yang terbentuk dari penumpukan bahan organik, memiliki karakteristik berbeda dibandingkan tanah mineral. Meskipun kaya akan bahan organik, lahan ini menyimpan tantangan tersendiri bagi kegiatan bertani di lahan gambut. Memahami sifat dasar lahan gambut dan cara pengelolaannya yang tepat sangat penting untuk mencapai hasil pertanian optimal sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.

Bertani di Lahan Gambut: Karakteristik dan Tantangannya
Lahan gambut memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari jenis tanah lain. Salah satu yang paling menonjol adalah tingkat keasaman (pH) sangat rendah. Tingginya kandungan asam humat dan fulvat menyebabkan pH lahan gambut sering kali berada di bawah 4.0, menjadikannya sangat masam. Kondisi ini dapat menghambat penyerapan nutrisi oleh tanaman, bahkan jika nutrisi tersebut tersedia.
Selain itu, lahan gambut memiliki daya serap air yang sangat tinggi namun sulit melepaskannya. Kondisi ini menyebabkan lahan mudah tergenang air saat musim hujan dan sangat rentan terhadap kekeringan saat musim kemarau. Saat kering, lahan gambut juga mudah terbakar karena sifatnya yang menyimpan banyak bahan organik kering. Tantangan lain saat bertani di lahan gambut adalah rendahnya ketersediaan nutrisi makro seperti kalium (K) dan fosfor (P), meskipun lahan ini kaya akan nitrogen. Beberapa nutrisi mikro seperti tembaga (Cu) dan seng (Zn) juga sering kali tidak tersedia dalam jumlah cukup.
Upaya Menyesuaikan Lahan untuk Bertani
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, beberapa strategi pengelolaan lahan dapat diterapkan. Langkah pertama yang krusial adalah pengelolaan air. Sistem kanalisasi atau saluran air perlu dibuat untuk mengatur tinggi muka air tanah. Muka air yang ideal biasanya dijaga pada kedalaman 40–60 cm di bawah permukaan tanah. Pengaturan ini bertujuan untuk mencegah lahan menjadi terlalu kering atau terlalu basah, sehingga kelembaban tetap stabil dan risiko kebakaran dapat diminimalkan.
Selain pengelolaan air, pengapuran merupakan langkah penting untuk meningkatkan pH tanah. Bahan kapur pertanian, seperti dolomit, diaplikasikan untuk menetralkan keasaman lahan. Dosis pengapuran harus disesuaikan dengan tingkat keasaman tanah, yang dapat diukur melalui uji tanah. Proses ini perlu dilakukan beberapa minggu sebelum penanaman agar kapur dapat bereaksi dengan tanah secara optimal.
Teknik Pengelolaan Nutrisi yang Tepat
Mengingat rendahnya ketersediaan nutrisi ketika bertani di lahan gambut, pemupukan menjadi sangat vital. Penggunaan pupuk anorganik yang mengandung unsur hara makro dan mikro. Seperti urea, TSP dan KCl, perlu dilakukan dengan dosis yang tepat. Pemberian pupuk mikro, seperti tembaga sulfat dan seng sulfat, juga diperlukan untuk mencukupi kebutuhan tanaman.
Selain pupuk anorganik, penggunaan pupuk organik dan kompos sangat dianjurkan. Bahan organik tambahan ini tidak hanya menyumbang nutrisi, tetapi juga memperbaiki struktur fisik tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation dan membantu menahan air. Pemberian pupuk organik secara rutin dapat membangun kesuburan lahan secara berkelanjutan.
Pilihan Komoditas Pertanian yang Sesuai
Tidak semua jenis tanaman cocok untuk ditanam di lahan gambut. Pemilihan komoditas yang tepat sangat penting untuk kesuksesan bertani di lahan gambut. Tanaman yang memiliki toleransi tinggi terhadap kondisi masam dan genangan air, serta sensitif terhadap unsur hara tertentu, menjadi pilihan utama. Beberapa contoh komoditas yang umum dibudidayakan di lahan gambut antara lain nanas, kelapa sawit, sagu dan beberapa jenis sayuran seperti kangkung.
Pemilihan varietas yang resisten terhadap kondisi lahan gambut juga sangat direkomendasikan. Riset dan pengembangan varietas unggul yang dapat tumbuh baik di lahan gambut terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas pertanian di ekosistem ini.
Perbandingan Penggunaan Pupuk Kimia vs Organik
Dalam praktik bercocok tanam di lahan gambut, terdapat perbandingan menarik antara penggunaan pupuk kimia dan pupuk organik. Pupuk kimia bekerja lebih cepat meningkatkan kesuburan tanah, namun berisiko memperburuk keasaman jika dipakai berlebihan. Sebaliknya, pupuk organik seperti kompos atau biochar membutuhkan waktu lebih lama untuk memberikan hasil, tetapi mampu memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan daya simpan air. Dari sisi keberlanjutan, pupuk organik lebih ramah lingkungan, sedangkan pupuk kimia sering dianggap solusi praktis untuk hasil jangka pendek. Pemilihan keduanya sebaiknya disesuaikan dengan kondisi tanah serta kebutuhan tanaman.
Berdasarkan video Facebook Sumayyah, terasa sekali bagaimana perjuangan bertani di lahan gambut memerlukan kesabaran. Setiap cangkul yang diayunkan seolah menunjukkan tekad untuk menghidupkan kembali tanah lembap dan asam agar siap ditanami seledri. Meski penuh tantangan, ada kepuasan tersendiri ketika melihat lahan yang semula kosong perlahan berubah menjadi hijau. Prosesnya tidak instan, namun semangat dan ketekunan membuat lahan gambut yang sering dianggap sulit ternyata bisa memberikan harapan. Menyaksikan tanaman tumbuh sehat menjadi pengalaman berharga yang membuat lelah dalam bekerja seakan terbayar.
Bertani di lahan gambut memang memerlukan pendekatan dan teknologi khusus. Pengelolaan air yang cermat, pengapuran untuk menaikkan pH, serta pemupukan seimbang dengan pupuk makro dan mikro adalah kunci utama. Pemilihan komoditas yang sesuai juga menjadi faktor penentu keberhasilan. Dengan manajemen yang tepat, lahan gambut tidak hanya dapat dioptimalkan sebagai lahan pertanian produktif, tetapi juga dapat dijaga kelestariannya. Pengelolaan yang bijaksana dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Ini menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. /tari



